TifaniAnglila.Com - Diceritakan sebuah kisah yang sangat menarik. Kisah yang benar-benar menusuk relung jiwaku yang paling dalam. Aku yang selama ini mencari sebuah kebenaran dan arti dari dakwah dengan menjelajah mencari pengalaman ke berbagai tempat, kini benar-benar dipukul telak dan disadarkan akan sebuah arti dari MENTALITAS DAKWAH.
Semoga kisah ini bisa membuatku dan teman-teman semua yang sedang mengarungi medan dakwah semakin kuat jiwa raganya, semakin sabar, dan bisa istiqomah dalam berjuang.
Seorang pemuda, panggil saja namanya Mujahid, baru saja lulus mustawa ar-robi’ (Semester 4) kuliah bahasa arab di Ma’had ‘Abdurrahman Ibn ‘Auf Universitas Muhammadiyah Malang. Lalu ia mengikuti beasiswa pelatihan da’i selama 3 bulan lamanya di Jakarta. Setelah itu, dia wajib melakukan pengabdian dengan dikirim sebagai da’i ke daerah-daerah yang membutuhkan syi’ar Islam. Entah sial baginya atau malah sebuah anugrah, dia ditempatkan di daerah pedalaman di perbatasan Papua (Indonesia) dengan Papua Nugini.
Tapi teman, kisah menakjubkannya bukan mengenai dimana dia ditempatkan, tapi lebih ke kehidupan sehari-harinya.
Mujahid menempati sebuah pemukiman suku pedalaman papua. Disana tidak ada listrik, tidak ada beras, tidak ada toko, dan jauh dari keramaian. Jarak terdekat daerah itu ke kota adalah 50 KM. Mujahid harus mengendarai sebuah motor tua (honda merah) seminggu sekali untuk membeli kebutuhan harian untuk seminggu ke depan. Dan yang membuat risih, disana Mujahid harus hidup dengan sekumpulan babi dan anjing.
Pada suatu malam, Mujahid harus pergi belanja ke kota. Setelah seluruh kebutuhan didapat, ia pun segera kembali ke pedalaman dengan motor tuanya. Di tengah hutan yang lebat dan gelap gulita, tiba-tiba turun hujan lebat. Hujan membuat jalanan tanah yang dilalui menjadi becek dan berlumpur. Sampai tiba-tiba motor yang ia kendarai mogok. Lampu mati, suasana gelap dan sepi tidak ada orang disana. Sedangkan jarak masih belum ada setengah jalan. Ia panik namun tetap berusaha untuk tenang dengan berdzikir pada Allah.
Tiba-tiba dari arah belakang ada sorot lampu yang sangat terang dan semakin mendekat dengan membunyikan suara keras. Ternyata itu adalah seseorang yang mengendarai sebuah motor Harley Davidson. Setelah bertanya dan mengobrol sebentar, diketahui beberapa hal. Pertama, pengendara motor itu adalah seorang da’i juga. Dan kedua, tujuan mereka adalah tempat yang sama. Akhirnya motor tua Mujahid ditarik oleh Harley milik da’i itu pulang ke pedalaman.
Namun ada sebuah perbedaan besar dalam keseharian mereka berdua disana. Orang yang ditemui Mujahid hidup dengan mewah dan peralatan canggih. Motor besar, listrik genset, stok makanan melimpah, dan pusat ibadah yang besar. Sedangkan Mujahid hanya memiliki sebuah motor tua butut dan tempat ibadah yang kecil dan kumuh. Hidup sehari-hari dan sering berpapasan, mereka berdua hanya bisa tersenyum satu sama lain. Kehidupan seperti itu mereka lalui selama 1 tahun lamanya.
Teman, apa hikmah dan pelajaran yang antum ambil dari sepenggal kisah di atas? Apakah itu sebuah luar biasa? Atau biasa saja? Atau antum merasa bahwa medan yang sedang antum lalui sekarang lebih berat dari yang Mujahid alami?
Pendapatku pribadi. Aku pernah dikirim sebagai da’i ke daerah pelosok (bukan pedalaman) pada bulan Ramadhan selama 10 hari. Hari pertama disana aku sudah merasa sangat berat setelah mengetahui situasi masyarakat disana, padahal aku cuma 10 hari disana, apalagi aku berdua disana. Lalu tiba-tiba aku diceritakan sebuah kisah seperti di atas. Kepalaku langsung terasa berat sekali, dibebani dengan pikiran dan bayangan-bayangan andaikan aku yang berada dalam posisi Mujahid saat itu.
Artikel keren lainnya: