TifaniAnglila.Com - Pengertian redenominasi adalah mengurangi digit (angka nol) tanpa mengurangi nilai mata uang tersebut. Misal Rp 1.000 menjadi Rp 1 untuk menyederhanakan denominasi (pecahan) mata uang menjadi pecahan lebih kecil. Dengan penyederhanaan itu maka hal yang sama secara bersamaan dilakukan juga pada harga-harga barang dan proses ini tidak merubah daya beli masyarakat. Redominasi berbeda dengan sanering karena sanering adalah kebijakan pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai uang. Hal yang sama tidak dilakukan pada harga-harga barang, sehingga daya beli masyarakat menurun.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) optimistis rencana redenominasi atau mengubah Rp 1.000 jadi Rp 1 dapat berhasil dengan sukses. Praktik semacam ini banyak dilakukan oleh negara lain, dan berhasil namun ada juga negara yang gagal.
Skema Transisi Redenominasi Rupiah
Pemerintah telah menyiapkan skema transisi penyederhanaan mata uang tersebut. Enam bulan sebelum diberlakukan pada 2014, penyesuaian harga di pasaran dengan menggunakan dua harga yang berlaku, yaitu nominal lama dan baru. "Pada 2014 mulai diedarkan uang baru, gambarnya dan bentuk sama. Cuma ada kata dan nominal rupiah baru yang sudah dipangkas tiga digit, dan itu berlangsung hingga 2018," katanya.
Uang baru yang telah disesuaikan tersebut antara lain pecahan Rp.100 ribu menjadi Rp.100, kemudian Rp.50 ribu menjadi Rp.50, dan selanjutnya sisanya terus menurun dengan pemangkasan digit sampai besaran yang paling kecil saat ini. "Seribu itu sudah logam satu rupiah, nanti ada 50 sen, 25 sen sampai 1 sen," jelasnya.
Setelah berjalan selama empat tahun, pada 2019, semua uang yang berlaku akan mulai ditarik kembali. Pemerintah akan mengeluarkan uang baru dengan gambar dan besaran yang telah disesuaikan digitnya. Diperkirakan masa transisi uang baru itu akan selesai pada 2022.
Alasan Redenominasi Rupiah
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menjelaskan beberapa alasan perlunya menyederhanakan angka nol dalam rupiah alias redenominasi mata uang. Alasan utamanya adalah penyederhanaan dalam pencatatan keuangan atau sistem akuntansi."Yang utama untuk menyederhanakan. Karena kalau dengan denominasi yang besar menimbulkan inefisiensi dalam jual beli. Oleh karena itu, perlu disederhanakan," ujarnya.
Menurut Agus, dengan denominasi yang besar maka terlihat nilai mata uang rupiah menjadi rendah di mata dunia. Untuk itu, redenominasi dapat memberikan nilai tambah bagi kebanggaan bangsa.
"Padahal kita negara ke-16 dari size GDP. Masuk G-20. Tidak pantas kalau US$ 1 jadi Rp 9 ribu sekian, sementara negara lain masih satuan juga hitungannya. Ini memberikan rasa proud (bangga) atas mata uang kita yang merupakan simbol stabilitas ekonomi suatu negara," jelasnya.
Selain itu, lanjut Agus, secara teknologi informasi, redenominasi mata uang ini sangat dibutuhkan mengingat keterbatasan digit pada perangkat teknologi. "Kalau denominasi terlalu besar dalam IT membutuhkan memori yang besar dan banyak alat yang tidak cukup digitnya. Di modul penerimaan negara yang ada di tempat saya saja, kita kekurangan digit. Jadi kita harus menyicil memasukkannya dan itu jelas tidak efisien, itulah kenapa perlu redenominasi," tegasnya.
Redenominasi merupakan proses penyederhanaan rupiah dengan mengurangi angka nol. Dalam kajian BI beberapa waktu lalu, angka nol yang 'dihilangkan' paling tepat 3 digit. Jadi Rp 1.000 nanti akan menjadi Rp 1. Namun semua masih dalam kajian yang akan dibawa ke DPR dalam bentuk RUU Redenominasi.
Dirjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan Agus Suprijanto menyatakan rencana redenominasi kali ini telah dikaji sangat matang dengan memerhatikan kesuksesan dari negara lain yang telah menerapkan kebijakan tersebut. "Tahun 1965, pemerintah memandang kurang begitu berhasil, pemerintah belajar dari pengalaman yang berhasil melakukan redenominasi dan berhasil seperti Turki, Rumania, Polandia, dan Ukraina," ujar Agus.
Menurut Agus, Turki melakukan redenominasi sebagai prasyarat masuknya negara tersebut ke dalam Uni Eropa. Negara ini dianggap berhasil melakukan redenominasi karena melakukan sosialisasi yang cukup panjang.
"Yang penting itu sosialisasi dan edukasi, itu yang mereka lakukan, sekitar 4-5 tahun, tidak bisa cepat-cepat," jelasnya. Selain itu, lanjut Agus, pihaknya juga belajar dari negara-negara yang gagal menjalankan redenominasi. Hal ini untuk antisipasi agar tidak mengalami nasib yang sama dengan negara tersebut. "Tapi tidak hanya itu, pemerintah belajar dari negara-negara yang gagal supaya antisipasi. Negara yang gagal itu seperti Rusia, Argentina, Brazil, Zimbabwe," sebutnya.
Menurut Agus, masalah negara-negara yang gagal tersebut akibat kesalahan momentum. Negara-negara itu menerapkan redenominasi ketika sedang hiper inflasi. "Nah, makanya sejak tahun 2005 kita melihat ekonomi kita stabil, inflasi juga rendah, makanya direncanakan lagi untuk melakukan redenominasi ini," pungkasnya.
Agus menjelaskan sejauh ini pihak Badan Legislasi DPR RI setuju dengan permintaan Menteri Keuangan Agus Martowardojo untuk memasukkan pembahasan RUU Redenominasi Mata Uang sebagai prioritas pertama. "Prioritas pertama ini maksudnya akan dibahas pada masa sidang 3 dan 4, dari Januari sampai Juni 2013," ujarnya. Bahkan, lanjut Agus, ada beberapa anggota DPR RI yang tertarik untuk bergabung menyosialisasikan kebijakan redenominasi kepada masyarakat. Meskipun, perlu diakui masih ada pihak yang kontra dengan rencana tersebut.
"Mereka (DPR) meminta untuk dibuat tim pemantau untuk mengukur kesiapan masyarakat. Nanti sosialisasi ini akan dievaluasi," jelasnya.
Agus menambahkan karena begitu sempitnya waktu maka sosialisasi dilakukan mulai bulan Desember ini hingga bulan April atau sebelum pembahasan RUU Redenominasi dimulai bersama para wakil rakyat. Dengan demikian, begitu RUU disahkan, maka pemerintah bisa memulai masa transisi redenominasi mata uang pada awal tahun 2014.
"Kita akan lakukan sosialisasi tergantung audiensnya. Kalau seperti pengamat, akademisi, analis ya kita lakukan diskusi, tapi kalau masyarakat awam bentuknya satu arah, yang jelas agar mereka tahu redenominasi ini bukan sanering," tandasnya.
Redenominasi menurut BI
Bank Indonesia (BI) sebagai salah satu anggota Tim Redenominasi mengungkapkan nilai tukar rupiah akan menjadi kebanggaan kembali setelah proses redenominasi atau penyederhanaan angka nol dalam rupiah dilakukan. Sen akan digunakan sebagai pecahan kecil setelah dalam beberapa tahun belakangan sudah lagi tidak beredar.
"Ke depan ekonomi makin bagus, inflasi makin bagus, tidak ada shock. Jadi kita bisa gunakan lagi sen sebagai pecahan kecil lagi. Mengembalikan kebanggaan kita terhadap rupiah," ungkap Direktur Departemen Perencanaan Strategis dan Hubungan Masyarakat Bank Indonesia Difi Johansyah kepada detikFinance, Jumat (7/12/2012).
Menurut Difi, penyederhanaan rupiah perlu dilakukan karena sejak beberapa tahun terdahulu inflasi cukup tinggi akibat krisis. Hal ini membuat nilai tukar rupiah terus mengalami penurunan nilai.
"Tahun 1950-an itu krisis, US$ 1 pernah Rp 48, terus Rp 200, terus Rp 1.000. Karena krisis berkali-kali, inflasi yang tinggi, jadi adjusment terus. Sekarang jadi Rp 9.000. Nah jadi yang sen itu hilang. Diganti pecahan Rp 100-200 perak. Makanya kita turunin lagi," papar Difi.
Sementara itu finance.detik.com dihalaman yang sama memberitakan bahwa Komite Ekonomi Nasional (KEN) tidak pernah merekomendasikan pemberlakukan redemoninasi rupiah atau penyederhanaan angka nol dalam rupiah. KEN tidak setuju usulan ini diberlakukan, karena tidak akan berdampak signifikan.
KEN tidak setujui Redenominasi Rupiah
"Selama ini KEN tidak pernah merekomendasikan redenominasi rupiah. Menyebutnya saja susah, apalagi kalau diberlakukan," kata Ketua KEN Chairul Tanjung saat bertemu para pemimpin redaksi di Menara Bank Mega, Jl Tendean, Jakarta Selatan, Minggu (9/12/2012) malam.
Chairul lantas meminta Raden Pardede, yang mengetahui persis mengenai hal ini, untuk menjelaskan lebih detil. Menurut Raden, redenominasi selama ini memang diberlakukan oleh beberapa negara.
"Tapi, negara-negara yang melakukan itu biasanya mengalami inflasi lebih dari dua digit. Bahkan ada negara yang melakukannya karena inflasi naik terus berlipat-lipat," kata Raden seraya menyebut beberapa negara, antara lain Brazil.
Di Indonesia, inflasi masih berada satu digit dan tidak mengalami gejolak. Jadi, kata dia, redenominasi rupiah ini tidak tepat bila dilakukan sekarang. Raden yakin tidak akan ada dampak yang signifikan atas pemberlakuan ini.
Terlepas mengenai pandangan negatif KEN, banyak juga pengamat yang menilai redenominasi rupiah merupakan hal yang baik. Langkah pemerintah yang diinisiasikan oleh Bank Indonesia untuk mengangkat 'derajat' rupiah merupakan hal yang membanggakan.