TifaniAnglila.Com - Perjalanan pasang surut kehidupan masing-masing suami dan istri dalam keluarga muslim adalah suatu keniscayaan. Dimulai dari perkenalan dalam bingkai syari’at dan harapan akan lurusnya niat menyempurnakan separuh agama, yang berlanjut pada janji hidup bersama dalam ikatan yang kokoh, mengarungi bahtera kehidupan untuk mencapai pantai keridhaan Allah Ta’ala dan surga-Nya.
Sejak hari pertama bersatu dalam mahligai pernikahan, kedua insan yang bak langit dan bumi berupaya bahu membahu membangun landasan bagi masa depan mereka, dan akhirat mereka.. Tawa dan tangis, marah dan sedih, kecewa dan puas, bahagia dan duka, berbaur mewarnai tiap detik yang terentang dalam kebersamaan. Merajut mimpi berdua. Yang satu adalah ketenangan bagi pasangannya. Dan satu sama lain adalah pakaian bagi belahan jiwanya.
Menempuh hari-hari bersama. Bergandeng tangan. Saling mengingatkan ketika kelemahan melanda. Ketika godaan dunia melenakan. Ketika kepayahan mendera…,
” Duhai kekasihku, dunia ini adalah kefanaan. Ia hanyalah tempat bernaung sementara. Tujuan kita adalah akhirat yang abadi. Disana, di surga Allah Ta’ala, tidak ada lagi keletihan dan kesedihan, yang ada adalah kebahagiaan tiada berujung.. Bersabarlah sedikit sayang, dunia memang penuh fitnah dan kesulitan, namun disinilah kita sekarang untuk beramal, dan esok untuk berhisab… Maka mari kemari, kita bangkit menuju cita-cita kita bersama, ampunan Allah Ta’ala dan keridhaanNya…”
Kembali bercahaya sepasang mata yang melayu sorotnya. Kembali segar hati yang meranggas karena pergumulan dunia. Kembali tersadar jiwa yang lalai akan hakikat penciptaannya. Dan semakin bersemi benih-benih cinta kasih yang Allah Ta’ala jadikan melalui pernikahan. terawat oleh siraman ketaatan kepadaNya semata.
Semua itu takkan tergantikan wahai para Istri. Qanaahmu ketika ksatria pujaan hati pulang membawa rizki yang Allah takdirkan untuk kalian hari itu, atau mungkin bahkan pulangnya tanpa membawa apa-apa, adalah prasasti yang terukir indah dalam hatinya. Keridhaanmu akan waktu, tenaga, dan hartanya yang ia gunakan di jalan Allah Ta’ala, meski terkadang membuatmu harus mengalah dan hidup ‘ala kadarnya’, adalah permata berkilau yang tersimpan dalam relung jiwanya. Ketaatanmu kepada Allah Ta’ala, kemudian kepadanya, bersegeramu dalam memenuhi perintah dan kebutuhannya dalam kebaikan, senyum manis dan canda tawamu yang senantiasa tersuguh saat orang lain menolaknya, kesabaranmu menjalani suka duka hidup bersamanya, ketabahanmu melazimi takdir saat sehat maupun sakit, ajakan dan hasunganmu kepada penghambaan kepada Allah Ta’ala dalam segala bentuknya, dengan sentuhan khas kelembutanmu, segalanya bagai cetakan paten diatas pita-pita kaset memori yang tak akan hancur kecuali jika pemilik memori tersebut telah lebih dahulu menghadap Penciptanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Semua itu takkan tergantikan. Kalaupun kekasihmu memilih menjalankan sunnah poligami yang mulia, pesona pribadimu takkan lekang olehnya. Bahkan jika engkau ditakdirkan wafat terlebih dahulu, kenangan itu akan semakin mengakar kuat dalam dadanya. Mengkristal menjadi bulir-bulir cinta yang terpendam, dan tak akan sirna kecuali atas izin Rabbnya.
Inilah Khadijah - Semoga Allah Ta’ala meridhai beliau- kekasih pertama dan ibu dari anak-anak manusia terbaik di alam semesta, Rasulullaah Muhammad Shallallaahu’alayhi wa Sallam. Wanita sekaligus manusia pertama yang beriman kepada Rasulullaah Shallallaahu’alayhi wa Sallam tatkala manusia menolak dan mendustakannya. Perisai ketenangan beliau saat ketakutan dan keraguan berkecamuk dalam dada beliau. Pendukung utama dan setia dakwah beliau hingga malaikat maut mencabut ruhnya yang mulia. Istri tercinta…tiada duanya…. Dan semuanya terangkai dalam pembelaan beliau Shallallaahu’alayhi wa Sallam atas Khadijah, tatkala kekasih beliau sepeninggal Khadijah, ‘Aisyah -semoga Allah Ta’ala meridhai beliau, mencela Khadijah..:
Aisyah radhiallahu ‘anhaa bertutur:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ذَكَرَ خَدِيجَةَ أَثْنَى عَلَيْهَا فَأَحْسَنَ الثَّنَاءَ قَالَتْ فَغِرْتُ يَوْمًا فَقُلْتُ مَا أَكْثَرَ مَا تَذْكُرُهَا حَمْرَاءَ الشِّدْقِ قَدْ أَبْدَلَكَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهَا خَيْرًا مِنْهَا قَالَ مَا أَبْدَلَنِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ خَيْرًا مِنْهَا قَدْ آمَنَتْ بِي إِذْ كَفَرَ بِي النَّاسُ وَصَدَّقَتْنِي إِذْ كَذَّبَنِي النَّاسُ وَوَاسَتْنِي بِمَالِهَا إِذْ حَرَمَنِي النَّاسُ وَرَزَقَنِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَلَدَهَا إِذْ حَرَمَنِي أَوْلَادَ النِّسَاءِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika menyebut tentang Khadijah maka iapun memujinya, dengan pujian yang sangat indah. Maka pada suatu hari akupun cemburu, maka aku berkata, “Terlalu sering engkau menyebut-nyebutnya, ia seorang wanita yang sudah tua. Allah telah menggantikannya buatmu dengan wanita yang lebih baik darinya”. Maka Nabi berkata, “Allah tidak menggantikannya dengan seorang wanitapun yang lebih baik darinya. Ia telah beriman kepadaku tatkala orang-orang kafir kepadaku, ia telah membenarkan aku tatkala orang-orang mendustakan aku, ia telah membantuku dengan hartanya tatkala orang-orang menahan hartanya tidak membantuku, dan Allah telah menganugerahkan darinya anak-anak tatkala Allah tidak menganugerahkan kepadaku anak-anak dari wanita-wanita yang lain” (HR Ahmad no 24864 dan dishahihkan oleh para pentahqiq Musnad Ahmad)
Bagaimanakah ini, pembelaan kepada istri yang telah lama wafat, di hadapan istri yang lebih muda, cantik dan segar, dan tengah dilanda cemburu? Dari manakah datangnya…jika bukan dari rasa cinta dan kesetiaan yang mendalam?
Bahkan Rasulullah pernah dengan bangganya berkata kepada Aisyah yang cemburu kepada Khadijah,
إِنِّي قَدْ رُزِقْتُ حُبَّهَا
“Sungguh Allah telah menganugrahkan kepadaku rasa cinta kepada Khadijah” (HR Muslim no 2435)
Dan pita memori akan Khadijah terputar kembali saat beliau menerima kalung Khadijah yang dikirimkan Zainab putri beliau untuk menebus suaminya yang tertawan dalam keadaan musyrik di Madinah, hingga tergetar hati beliau dalam kesedihan.
Aisyah radhiallahu ‘anhaa berkata :
لَمَّا بَعَثَ أَهْلُ مَكَّةَ فِى فِدَاءِ أَسْرَاهُمْ بَعَثَتْ زَيْنَبُ فِى فِدَاءِ أَبِى الْعَاصِ بِمَالٍ وَبَعَثَتْ فِيهِ بِقِلاَدَةٍ لَهَا كَانَتْ عِنْدَ خَدِيجَةَ أَدْخَلَتْهَا بِهَا عَلَى أَبِى الْعَاصِ. قَالَتْ فَلَمَّا رَآهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- رَقَّ لَهَا رِقَّةً شَدِيدَةً وَقَالَ « إِنْ رَأَيْتُمْ أَنْ تُطْلِقُوا لَهَا أَسِيرَهَا وَتَرُدُّوا عَلَيْهَا الَّذِى لَهَا ». فَقَالُوا نَعَمْ. وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَخَذَ عَلَيْهِ أَوْ وَعَدَهُ أَنْ يُخَلِّىَ سَبِيلَ زَيْنَبَ إِلَيْهِ وَبَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَيْدَ بْنَ حَارِثَةَ وَرَجُلاً مِنَ الأَنْصَارِ فَقَالَ « كُونَا بِبَطْنِ يَأْجِجَ حَتَّى تَمُرَّ بِكُمَا زَيْنَبُ فَتَصْحَبَاهَا حَتَّى تَأْتِيَا بِهَا ».
“Tatkala penduduk Mekah mengirim harta untuk menebus para tawanan mereka, maka Zainabpun mengirim sejumlah harta untuk menebus suaminya Abul ‘Aash, dan Zainab mengirim bersama harta tersebut sebuah kalung yang dahulunya milik Khadijah, lalu Khadijah memberikan kalung tersebut kepada Zainab tatkala Zainab menikah dengan Abul ‘Aash.
Maka tatkala kalung tersebut dilihat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Rasulullahpun sangat sedih kepada Zainab. Beliaupun berkata (kepada para sahabatnya), “Jika menurut kalian bisa untuk membebaskan tawanan Zainab dan kalian kembalikan lagi kalungnya ??”. Maka para sahabat berkata, “Iya Rasulullah”. Akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaih wa sallam mengambil janji dari Abul ‘Aaash agar membiarkan Zainab ke Madinah. Lalu Rasulullah mengirim Zaid bin Haaritsah dan seseorang dari Anshoor (untuk menjemput Zainab), dan beliau berkata kepada mereka berdua, “Hendaknya kalian berdua menunggu di lembah Ya’jij hingga Zainab melewati kalian berdua, lalu kalian berdua menemaninya hingga kalian membawanya di Madinah” (HR Abu Dawud no 2694 dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani)
Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat kalung tersebut maka Nabipun sangat sedih karena mengingat kondisi putrinya Zainab yang bersendirian di Mekah, dan juga sangat sedih karena mengingat kembali cinta pertamanya Khadijah radhiallahu ‘anhaa dan bagaimana kesetiaan istrinya Khadijah, karena kalung tersebut dahulunya adalah milik Khadijah dan dipakai oleh Khadijah di lehernya radhiallahu ‘anhaa’ (Lihat ‘Auunul Ma’buud 7/254). Kalung tersebut mengingatkan beliau kepada Khadijah yang sangat dicintainya yang merupakan ibu dari anak-anaknya. (Lihat Al-Fath Ar-Robbaaniy 14/100-101). Hal inilah yang menjadikan Nabi membebaskan Abul ‘Aash suami putrinya Zainab dan sekaligus keponakan Istrinya Khodijah tanpa tebusan sama sekali.
Demikianlah wahai para istri muslimah, para wanita shalihah perindu surga, belahan jiwa sekaligus penolong para suami-suami yang shalih menuju keridhaan Allah Ta’ala.. Segala jerih payahmu dalam rumah tangga, yang engkau niatkan untuk meraih janji pahala Allah Ta’ala, kemudian untuk membina mahligai indah milik kalian, tidak akan Allah Ta’ala sia-siakan sedikitpun. Tidak akan hilang begitu saja, terlebih dalam hati suami-suami kalian. Kini, maupun kelak setelah engkau tiada.
Sungguh, engkau takkan tergantikan….
Artikel keren lainnya: