Ramadhan kembali hadir. Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, amat wajar bila kedatangan bulan suci itu disambut dengan sukacita.
Berbagai persiapan pun dilakukan. Seperti tahun-tahun sebelumnya, jam kerja pegawai negeri sipil dipersingkat dan anak sekolah diliburkan di masa awal puasa.
Bukan saja negara, berbagai elemen swasta dan industri juga ikut mengakomodasi keinginan umat untuk lebih mengasah sisi rohani di bulan puasa. Di televisi, nilai-nilai keagamaan diselipkan di berbagai acara sementara di industri musik, musisi berlomba mengeluarkan lagu-lagu religi.
Pusat-pusat belanja pun berhias dengan dekorasi layaknya masjid dan ikut menggelar acara ceramah hikmah Ramadan, di samping program-program diskon. Tidak salah jika dikatakan Ramadan di Indonesia merupakan yang paling semarak.
Kesemarakan Ramadan juga kerap tecermin di ruang makan banyak keluarga Indonesia. Hidangan begitu berlimpah ketika berbuka hingga mengaburkan nilai yang telah dijalani seharian.
Pada akhirnya masa Ramadan pun kerap hanya menjadi bentuk lain konsumerisme dan pemuasan nafsu duniawi. Padahal, seperti yang diteladankan Nabi dan para sahabatnya, semarak Ramadan ada di dalam kalbu.
Di luar, semarak itu bisa sangat sunyi. Ia berwujud kesantunan kata, perilaku, kerendahan hati, dan pengendalian nafsu.
Sebagaimana yang juga termaknai selama 14 abad ini, tradisi berpuasa sebenarnya tidak hanya untuk kebaikan diri, tapi juga masyarakat yang lebih luas. Hal itu pula yang sedang dibutuhkan bagi bangsa dengan berbagai konflik sosial, kesenjangan ekonomi, dan hiruk pikuk politik seperti Indonesia.
Menahan diri yang dimaknai jauh lebih besar daripada sekadar urusan kerongkongan semestinya berarti keengganan orang untuk melakukan korupsi. Menahan diri juga harusnya bisa membawa kelompok-kelompok antitoleransi yang menebar kekerasan berubah menjadi antikekerasan.
Pengendalian serupa pula mestinya masuk ke ruang-ruang politik di Tanah Air yang didominasi syahwat kekuasaan, bukan pengorbanan. Sudah terlalu lama politik menjadi ajang saling sandera antarpartai yang miskin substansi.
Politik yang mestinya menjadi ajang perlombaan untuk menuju keadaban dan ajang memperjuangkan kepentingan rakyat sudah menjelma menjadi laga berebut kuasa dengan menghalalkan segala cara.
Puasa mestinya juga mampu memupuk solidaritas. Rasa lapar yang muncul seharian sesungguhnya juga rasa lapar yang bagai kebiasaan bagi mereka yang hidup di bawah dan dekat dengan garis kemiskinan.
Penderitaan yang dicicipi bersama mestinya melahirkan kekuatan bersatu bagi bangsa ini, bukan nafsu memperkaya pundi-pundi pribadi apa pun dan bagaimanapun caranya. Bukankah sejarah sudah menunjukkan solidaritas untuk bangkit dan maju telah membuat bangsa ini keluar dari ketertindasan?
Solidaritas pula yang membuat perbedaan suku dan agama kala itu terajut menjadi anyaman yang justru indah. Karena itu, alangkah malangnya bangsa yang religius ini jika kesempatan untuk merefleksi diri lewat Ramadan itu menguap begitu saja.
Karena itu, puasa harus dibumikan dan meninggalkan jejak perubahan yang nyata. Tanpa itu, puasa nyaris tak bermakna.
Artikel keren lainnya: