Di zaman yang semakin maju dan penuh persaingan, semakin banyak pasangan yang enggan menikah muda. Hal ini bisa dimengerti karena banyak perusahaan yang memberi syarat belum menikah pada calon pegawainya, atau memberi syarat bersedia tidak menikah dan mengandung dalam jangka waktu tertentu. Maka saya tidak heran jika banyak wanita yang menunda menikah demi memiliki penghasilan dan karir yang mapan.
Kisah ini dimulai saat saya masih menjadi seorang mahasiswi, usia saya saat itu 21 tahun. Ketika itu, saya memiliki kekasih yang berusia satu tahun lebih tua dari saya. Dia adalah pria yang baik, tidak pernah meninggalkan ibadah wajib dan memiliki usaha sablon pakaian sejak lulus dari SMA. Memang, usahanya ini masih skala kecil, tetapi kesungguhannya untuk mandiri membuat saya percaya bahwa dia adalah pria bertanggung jawab yang bisa menjadi pemimpin rumah tangga yang baik.
Sebelum saya lulus, kekasih saya memberanikan diri untuk menemui orang tua saya dan meminta kesediaan mereka untuk merestui hubungan kami ke jenjang yang lebih serius. Orang tua saya keberatan, karena mereka tidak ingin kuliah saya berantakan karena menikah. Mereka juga menganggap bahwa calon suami saya dan saya sendiri belum memiliki pondasi keuangan yang cukup untuk membangun rumah tangga.
Saya sadar bahwa uang memang bukan segalanya, tetapi saya juga sadar bahwa uang adalah hal yang penting untuk sebuah pernikahan, apalagi jika kelak saya sudah memiliki anak. Tetapi saya dan kekasih saya meyakinkan pada orang tua kami bahwa jodoh dan rezeki sudah ada yang mengatur, niat kami baik dengan menikah. Kami tidak ingin pernikahan kami tidak mendapat restu, sehingga kami pelan-pelan meminta kepercayaan orang tua kami bahwa kami akan bertanggung jawab penuh pada keputusan kami untuk menikah.
Akhirnya restu itu kami dapatkan. Saya menikah sebelum usia 22 tahun. Setelah menikah, kami langsung tinggal di sebuah kontrakan kecil yang sangat sederhana. Sebenarnya, jika saya mau, saya bisa saya menumpang di rumah orang tua, tetapi kami memutuskan untuk belajar mandiri dan bertanggung jawab atas keputusan kami, seperti janji kami kepada orang tua. Saya juga harus menuntaskan janji untuk lulus dengan nilai yang baik.
Jujur, saya melewati masa-masa yang sulit di awal pernikahan kami. Suami saya harus membiayai uang kuliah saya, membayar uang kontrakan, tagihan listrik dan sebagainya. Untuk makan, saya tidak keberatan hanya makan nasi, tahu dan sayur bayam bening setiap hari, saya menikmatinya. Kami tetap percaya bahwa menikah tidak akan menutup pintu rezeki kami. Kami percaya rezeki kami telah dipersiapkan, tetapi rezeki itu tidak akan jatuh begitu saja, kami yang harus menjemput rezeki itu dengan berbagai usaha.
Banyak orang menyayangkan keputusan saya untuk menikah muda. Kehidupan saya yang berkecukupan sebelum menikah harus saya ganti dengan hidup sederhana bahkan prihatin. Tetapi janji Allah terbukti pada pernikahan saya,
Orang tua kami tidak menutup mata pada kehidupan pernikahan kami, mereka sering menawarkan bantuan tetapi saya dan suami menolak dengan halus. Bukannya kami tidak tahu diri, tetapi saya dan suami benar-benar ingin belajar untuk mandiri dan menghargai setiap keping materi yang telah kami kumpulkan. Kami yakin, hal itu akan membuat kami lebih menghargai kerja keras dan lebih bersyukur.
Saya tidak diam saja, walaupun masa wisuda harus menunggu beberapa bulan, saya memberanikan diri untuk memulai usaha kecil. Saya sejak kecil gemar menanam tanaman hias, hampir semua tanaman hias yang ada di halaman rumah orang tua saya adalah hasil keterampilan tangan saya yang cukup sabar merawat tanaman. Saya pikir, kenapa tidak dibuat usaha saja, hasilnya bisa untuk membantu suami.
Suami saya mengizinkan saya dan memberi modal yang cukup untuk membeli beberapa pot, bibit tanaman, pupuk, kompos dan sebagainya. Saya memulai usaha ini hanya dengan dua lusin pot bunga. Saya jual pada warga di sekitar kontrakan dan mereka dengan senang hati membelinya. Saya juga tidak keberatan mengajari mereka bagaimana merawat tanaman tersebut dengan benar.
Mulai dari situ, saya menerima beberapa pesanan. Sedikit demi sedikit usaha ini berkembang hingga saya diwisuda. Saya sengaja tidak melamar pekerjaan di berbagai kantor, karena saya ingin fokus pada bidang ini. Dan pada saat yang sama, saya mendapat hasil positif pada tes kehamilan. Sungguh sebuah momen yang membahagiakan dan mengharukan, saya dan suami menangis karena bahagia, kami tidak berhenti mengucapkan syukur atas rezeki yang datang, tak hanya materi tetapi juga buah hati.
Sedikit demi sedikit, usaha tanaman hias dan usaha sablon suami saya berkembang. Saya mulai memperhatikan makanan untuk saya dan janin di rahim saya. Kami sudah bisa membeli tempat tidur yang lebih layak, karena sebelumnya, kami memakai kasur tipis. Kami mulai mencicil membeli pakaian bayi dan segala perlengkapannya. Semakin besar usia kandungan saya, kami merasakan banyaknya limpahan rezeki.
Dulu, saya sempat berpikir bagaimana jika saya hamil tetapi tidak punya biaya untuk memeriksakan kandungan ke dokter? Ternyata Allah menjawab doa saya dengan waktu yang tepat, saya dan suami sudah memiliki tabungan yang cukup, saya bisa memeriksakan kandungan ke dokter secara teratur. Hingga saat saya melahirkan, kami sudah memiliki cukup biaya. Putri kami lahir dengan sehat, kami memberinya nama Kayla.
Kehadiran Kayla semakin membuat suami saya bersemangat mengumpulkan rezeki. Saya juga, walaupun tidak sekeras sebelumnya karena saya harus merawat Kayla dan memberi ASI. Sekarang, usia Kayla sudah setahun. Saya sudah memiliki kios dan sebidang rumah kaca untuk mengembangkan usaha. Sedikit lagi, tabungan kami sudah cukup untuk membeli rumah sederhana.
Percayalah, jodoh dan rezeki sudah ada yang mengatur, tinggal bagaimana kita menjemputnya. Jangan takut untuk memutuskan menikah di usia muda, selama Anda dan pasangan saling mendukung, bekerja keras dan berdoa, rezeki tidak akan terhalang oleh status pernikahan. Bukankah Allah sudah menjanjikan akan membuka pintu rezeki melalui sebuah pernikahan?
Artikel keren lainnya: