Mataku melirik tajam pada foto dalam figura di ruang tamu rumah nenek Iban, ketika ibu menyuruhku kerumah Nenek Iban untuk mengantar sesuatu. Foto itu menggambarkan suasana masa lalu ketika nenek Iban masih muda. Demikian kami memanggil nenek dengan sebutan Iban, karena kami sampai hari ini pun tidak tahu nama Nenek Iban yang sebenarnya.
Nampak senyum khas Nenek Iban dibalik pipinya yang keriput dan sedikit meleyot, saat kami menyapanya setiap beliau lewat didepan surau kampung kami. Nenek Iban dengan lembut memberikan kami uang receh Rp.500 terkadang Rp 1000, dan terkadang hanya sejumput permen kacang yang nenek dapatkan entah darimana. Mungkin dari anak cucunya yang terlihat kaya raya. Setiap lebaran tiba, biasanya rumah nenek Iban dipenuhi mobil mewah dan anggota keluarga Nenek Iban yang semuanya berdandan cantik dan terlihat anggun, persis seperti Nenek Iban sendiri.
Biasanya nenek terlihat sendiri di rumah kayu bercat putih itu. Rumah yang anggun dan cantik, aku suka dengan bunga bougenvilenya yang berwarna ungu dan bercampur merah rose, hmm.. Nenek Iban sesuai dengan namanya yang ramah terdengar di telinga kami. Sungguh ramah bila kami datang kerumahnya sekedar mengantarkan panganan kolak atau nasi jamblang untuk nenek buatan ibuku. Ibu memang saudara jauh dari nenek Iban, namun dari semua saudara nenek Iban, ibuku yang paling perhatian. Setiap kembali dari rumah nenek Iban, aku selalu terkenang akan foto yang menggambarkan masa lalu nenek Iban. Beliau duduk sendiri dan di sekelilingnya ada 6 orang anak yang masih kecil mengelilingi beliau. Terkadang aku berfikir kemana kakek pendamping nenek, karena seumur hidupku belum pernah aku melihat kakek yang bila boleh kuberi nama mungkin menjadi kakek Uban.
Hari yang kutunggu datang juga. Suatu hari sepulang sekolah aku menjumpai rumah Nenek Iban penuh dengan berbagai manusia. Aku melihat banyak kursi tergelar di depan rumah nenek Iban yang halamannya sangat luas. Ada bendera berwarna kuning serta ambulans di depan rumah nenek. Hatiku tercekat, apakah Nenek Iban sudah meninggal..? Mungkinkah,,? Kecemasanku terjawab ketika aku melihat Nenek Iban dengan wajahnya yang keras duduk di depan ruang tamu. Nenek menatap para tamu, namun nenek tidak sedikitpun berlinang airmata, "Alhamdulillah, bukan nenek yang meninggal, gumamku". Terimakasih ya Allah, lalu.. pikirku bertanya, "Siapa yang meninggal dan kenapa dibawa ke rumah nenek Iban..?
Sayup-sayup aku mendengar Bi Endang bicara dengan Wak Erman, paman sulungku, katanya, "Itulah lelaki, bila sudah meninggal akhirnya ingin kembali kerumah asal". Alhamdulillah nenek Iban mau menerima kembali suaminya yang dahulu pergi begitu saja meninggalkan nenek Iban dengan 6 anaknya yang masih kecil. Suaminya terpikat seorang gadis yang menjadi pegawainya di kantor kepala desa. "Huhh..., kalau aku jadi nenek Iban aku tidak mau menerima kepulangan jenazahnya". Padahal kalau bukan karena nenek Iban yang tegar dan selalu memikirkan kelangsungan hidup anaknya, tanpa terfikir untuk menikah lagi dan mencari pengganti, mana mungkin rumah nenek Iban bisa sebesar ini, dan mana mungkin anak-anak nenek Iban bisa sesukses itu.
Itulah wanita selalu kuat walau dia harus menderita. Terbukti walau tanpa suami, nenek Iban mampu untuk hidup survive dan membesarkan anak-anaknya dengan cinta kasih. Perempuan memang kuat dan bisa apa saja. Apabila sakit hatinya tidak ada yang mengobati, maka rasa sakit hatinya menjadikan dia semakin kuat. Semoga ini menjadi pelajaran bagi kaum lelaki di kampung kita untuk tidak mudah meninggalkan istri apalagi bila punya anak banyak.
Walau raut wajah Wak Erman terlihat tak begitu suka, namun para lelaki yang mengetahui siapa nenek Iban mengakui betapa kokoh dan kuat hatinya sebagai seorang wanita yang sangat mencintai anak–anaknya. Ia mampu menghantarkan ke 6 anaknya untuk menjadikan mereka sukses tanpa bantuan siapa pun. Termasuk bantuan mantan suaminya yang akhirnya kembali. Walau pun kembali dalam bentuk jenazah, namun dengan ramainya tamu pelayat datang ke rumah yang anggun itu, aku dapat mengerti bahwa nenek Iban sudah memaafkan kesalahan suaminya. Kembali hatiku kagum.
Betapa kekuatan hati seorang wanita, selain mampu mengantarkan masa depan anak-anaknya dengan sukses seorang diri, ia juga mampu mengalahkan perasaannya yang sempat hancur tanpa sisa.
Artikel keren lainnya: