TifaniAnglila.Com - Seorang yang beriman pasti sadar bahwa segala sesuatu tentang dirinya, apa yang ada pada dirinya dan darinya sesungguhnya dimiliki oleh Allah - Sang Pencipta Yang Memiliki segala sesuatu. Sehingga kesadaran tinggi itu mendorongnya untuk berbuat sesuai dengan apa yang diperintahkan-Nya.
Inilah yang dinamakan spirit Iman. Spirit yang memacu seseorang untuk tidak bermalas-malasan. Sebab, ia yakin segala aktifitasnya merupakan ’pembayaran hutang’ kepada Allah SWT atas apa yang telah dikaruniakan-Nya kepada manusia. Belajar dan bekerja diniatkan semata-mata untuk memulyakan agama Allah dan merengkuh ridla-Nya.
Syed Naquib al-Attas berpandangan, manusia yang beriman tidak sekedar percaya bahwa Allah itu ada, tetapi kesadaran diri bahwa dia memiliki hutang yang diwujudkan dengan penyerahan diri (aslama). Mengamalkan agama pada hakikatnya membayar hutang. Diin – yang artinya agama berasal dari kata dayana yang artinya keberhutangan.
Maka, dalam Islam penyerahan itu tidak sekedar menyerahkan tanpa aturan. Konsep penyerahan diri barangkali umumnya dapat ditemukan di semua agama. Akan tetapi tidak semua agama menetapkan suatu penyerahan diri yang sesungghuhnya. Ini berarti, memaknai al-Islam hanya ”penyerahan diri kepada Yang Maha Kuasa” adalah tidak betul. Ini tidak cukup.
Yang berbeda dengan agama lain, penyerahan diri menurut konsep Islam adalah penyerahan yang tulus dan menyeluruh menurut kehendak Allah dijalankan dengan sepenuh hati dengan ketaatan secara mutlak terhadap hukum yang diwahyukan oleh-Nya. Jadi syarat penyerahan diri itu adalah; kaffah tidak parsial, sesuai kehendak Allah bukan kehendak manusia, taat pada hukum sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an. Selain syarat ini, bukan konsep penyerahan diri secara Islam.
Islam sebagai satu-satunya agama berkonsep Diin mengikuti pola atau bentuk yang menjadi acuan Allah SWT dalam memerintah yang merupakan peniruan dari sistem kosmik yang diwujudkan dalam kehidupan di dunia sebagai sistem sosial, budaya, politik dan elemen-eleman lainnya secara menyeruluh.
Inilah cara ’membayar hutang’. Ada mekanismenya. Mekanisme itu telah terlengkapi dengan acuan-acuan yang mengarahkan manusia menjadi manusia agung dan bebas. Bebas dari belenggu penjara nafsu. Makanya, kita mesti menyadari secara mutlak, bahwa kita tak memiliki apaun untuk membayar hutang kecuali dengan mekanisme yang telah diatur itu. Dengan pemahaman mendalam inilah, seorang muslim akan menjadi cerdas. Ia tidak beraktifitas kecuali aktifitasnya bernilai ibadah.
Bagi seorang pelajar, ini akan memacu untuk sungguh-sungguh belajar. Bagi karyawan, semangatnya bekerja tidak lain demi menambah pundi-pundi pahala. Bagi politikus, aktifitas politiknya semata demi untuk kemaslahatan umat dan agama. Tidak ada tendesi yang lain kecuali semuanya demi ’membayar hutang’.
Maka di sinilah, seorang muslim dididik untuk menjadi kuat, bersemangat dan tidak malas. Kelemahan dibenci oleh Rasulullah SAW. Sebab kelemahan muslim adalah faktor keruntuhan agama. Kelemahan seorang pelajar, adalah tanda kemerosotan ilmu. Kemerosotan ilmu juga memperlemah pondasi agama.
Rasulullah SAW bersabda: "Allah SWT mencela sikap lemah, tidak bersungguh-sungguh, tetapi kamu harus memiliki sikap cerdas dan cekatan, namun jika kamu tetap terkalahkan oleh suatu perkara, maka kamu berucap 'cukuplah Allah menjadi penolongku, dan Allah sebaik-baik pelindung." (HR Abu Dawud).
Artikel keren lainnya: