TifaniAnglila.Com - Bagaimana Anda menghabiskan waktu setiap hari dan setiap minggu?’ Salah satu jawabannya mungkin seperti ini: sekian jam bekerja di kantor, pabrik, restoran, toko, atau tempat kerja lainnya, dan sekian jam sisanya di rumah, serta sebagian lagi habis di jalan (macet sih!). Ada pula yang akan menambahkan: sekian jam lagi untuk hang-out.
Hidup seperti itu niscaya rutin. Bagi sebagian yang lain, hidup menjadi lebih menarik ketika mereka mengambil kesempatan untuk menjadi relawan dalam organisasi nirlaba atau aktivitas sosial yang tak terkait organisasi. Orang-0rang ini, di antaranya kawan saya, selalu berusaha mengalokasikan sebagian dari waktu yang dimilikinya (365 x 24 jam per tahun) untuk melayani orang lain.
Apa yang dikerjakannya? Kawan saya memanfaatkan kepiawaiannya sebagai seorang chef agar orang lain semakin pintar memasak. Dua minggu sekali ia, dibantu 2-3 teman, mengajak ibu-ibu tetangga untuk memasak bersama. Dalam kesempatan seperti ini, ia berbagi kepintaran dalam mengolah bahan masakan menjadi hidangan yang lezat.
Kawan saya ini menyadari, di era seperti sekarang, kita mudah kehilangan sentuhan hidup bertetangga di dunia nyata. Pagi-pagi berangkat bekerja, petang atau malam pulang ke rumah, karena lelah kita lebih suka tinggal di rumah. Ketemu tetangga mungkin ketika kerja bakti tingkat RT. Jam kerja yang panjang dan melelahkan membuat kita menghindari kesempatan menjadi voluntir.
Tapi kawan saya ternyata mampu menyukai aktivitas sosial di luar pekerjaannya. Lewat acara memasak bersama, kawan saya memetik sejumlah pelajaran menarik.
Pertama, ia belajar berbagi pengetahuan dan ketrampilan memasak. Ia tidak takut ilmunya dikuasai orang lain dan orang itu menjadi bertambah pintar. Ia percaya, dengan berbagi pengetahuan, ia juga menjadi lebih pintar. “Berbagi (sharing),” kata teman saya, “ternyata harus dibiasakan bukan hanya dalam konteks bekerja.”
Kedua, sebagai pekerja ia memang terbiasa melayani ‘konsumen internal’ dan ‘konsumen eksternal’. Konsumen internal ini misalnya manajer yang menjadi atasannya atau pun pemilik usaha tempatnya bekerja. Konsumen eksternal, tentu saja, para tamu yang mengunjungi restoran tempat ia bekerja.
Tapi, mengajari ibu-ibu memasak merupakan jenis ‘melayani’ yang berbeda, sebab tidak dalam konteks bekerja, tidak ada urusan dengan bisnis restoran. Ini merupakan aktivitas voluntir yang tidak mendatangkan uang (bila ini yang dicari).
Ketiga, ia memperoleh kepuasan yang berbeda saat mengajari ibu-ibu ini dibandingkan dengan saat melayani tamu restoran, walaupun melayani tamu restoran juga menyenangkan. Kepuasan dan kebahagiaan ia rasakan manakala ibu-ibu itu menceritakan bagaimana seisi rumah makin menyukai masakannya setelah mereka mempraktekkan kiat memasak enak.
Keempat, ia mendapatkan pengalaman mengorganisasikan kegiatan sosial. Pengalaman kepemimpinan ini berbeda dengan yang ia dapatkan di tempat kerja yang umumnya sudah dipatok oleh aturan main tertentu.
Kelima, dengan melayani orang lain berarti ia melatih diri untuk mengurangi egonya. Ia sekarang lebih mampu mendengarkan pendapat orang lain, memahami kebutuhan orang lain, dan mendahulukan kepentingan orang lain.
Semua manfaat tersebut menambahkan dimensi yang tidak bisa diberikan oleh pekerjaan (resmi) kepada diri kita. Aktivitas bersama ibu-ibu itu mengisi kekosongan yang tak bisa dipenuhi oleh dunia kerja yang lazimnya dilandasi oleh hubungan formal (rekan satu tim, atasan-bawahan, antar-bagian, dst.).
Kawan saya merasa puas bahwa sebagian waktunya mampu ia alokasikan untuk aktif dalam membangun relasi sosial yang bersifat melayani—dalam pengertian berbagi pengetahuan dan ketrampilan, membahagiakan, serta membantu orang lain menemukan kekuatan positif dalam dirinya. Apakah semua ini bermanfaat saat ia berada di tempat kerja?.