TifaniAnglila.Com - Protes terhadap suatu hal yang mengundang ketidaknyamanan bukan dominasi orang dewasa saja. Anak-anak juga seringkali melayangkan aksi protes yang membuat bingung orangtua.
Cara anak protes pun bermacam-macam sesuai dengan usianya. Mulai dari mogok makan, mogok bicara hingga berteriak-teriak protes langsung terhadap apa yang tidak disukainya.
Umumnya, protes semacam itu mulai dilakukan anak saat berusia tiga tahun. Hal itu terkait dengan kemampuan anak untuk mengekekspresikan diri secara verbal.
Penulis buku Children Are from Heaven, John Gray PhD mengatakan, perlawanan berupa protes yang dilakukan seorang anak terhadap orangtuanya disebabkan anak sudah mulai mempunyai kemauan, keinginan, dan kebutuhan sendiri.
Perilaku tersebut juga menandakan perkembangan kemandirian dalam diri anak. Selain itu, anak kerap merasa sebagai anak besar yang bisa melakukan segalanya sendiri.
Perasaan tersebut membuat si kecil mudah tersinggung bila ada tekanan dari luar dirinya. Itulah mengapa sikapnya bisa berubah saat mendengar kata-kata perintah atau larangan.
Perubahan sikap tersebut, jelas Gray, bisa dalam bentuk anak menjadi penurut atau justru melakukan perlawanan. Namun perasaan mandiri tak selamanya jelek. Sebab, kemandirian itu juga bermakna bahwa anak sudah punya pendirian, suatu potensi yang sangat penting bagi kreativitas anak.
“Aksi perlawanan juga bisa muncul bila anak merasa diperlakukan tak adil. Anak yang disuruh melakukan sesuatu secara kasar, direndahkan harga dirinya, dan dituntut untuk selalu menuruti kemauan orangtuanya, biasanya akan merasa dirinya diperlakukan tak adil dan sewenang-wenang. Hal itu merupakan reaksi yang wajar,” tuturnya.
Berdasarkan teori Ahli Perkembangan Anak Erik Erikson tentang tahapan perkembangan, anak usia bawah tiga tahun (batita) yaitu 18-36 bulan memasuki sebuah fase yang dinamakan fase otonomi. Fase tersebut ditandai dengan antusiasme melakukan segala sesuatunya sendiri dan munculnya hasrat untuk mandiri. Keinginan itu tumbuh seiring dengan berkembangnya kemampuan intelektual maupun fisiknya. Pada fase otonomi itu juga, anak berusaha memiliki kontrol atas dirinya.
“Aktivitas yang paling menonjol adalah perilaku makan-minum (feeding) dan toilet training. Lewat feeding, anak merasa dirinya memiliki kemampuan untuk mengontrol dirinya. Begitu pun dengan toilet training, dimana ia merasa mampu meregulasi keinginannya untuk buang air,” kata Erikson.
Keberhasilan menerapkan kontrol diri itu, lanjutnya, menumbuhkan rasa percaya diri yang mendorong anak untuk mencoba aktivitas yang lain. Hal itu dilakukannya sekaligus untuk melatih keterampilan motorik serta mengasah kemampuannya berpikir. Lewat berbagai aktivitas baru, batita belajar memercayai penilaiannya sendiri.
Pada fase otonomi itu juga, anak mulai menyadari dirinya adalah individu yang terpisah dari orang lain. Dia menyadari ibunya adalah orang lain. Begitu pun ayah, kakak-kakak, pengasuh bukanlah dirinya.
“Kesadaran mengenai diri ini mendorong anak belajar mengambil keputusan sendiri. Itulah mengapa anak usia batita sering kali tak mau melakukan perintah atau permintaan orang tuanya, bahkan cenderung memberontak. Penolakan ini merupakan manifestasi kontrol anak atas dirinya sendiri dan relatif normal untuk anak usianya,” jelas Erikson.
Jika penolakan anak kemudian membawanya kepada sikap yang seringkali memprotes, maka orangtua harus cermat membimbingnya agar dapat mengekspresikannya dengan cara yang benar.
Tips Menghadapi Protes Anak Ajarkan anak untuk meminta atau mengatakan dengan baik keinginannya. Sadarkan anak dengan perilakunya seperti itu, orangtua tidak akan mengerti keinginannya. Buka komunikasi dengan anak. Hal itu memungkinkan orangtua untuk mengetahui penyebab dan alasanmengapa anak mengutarakan pendapatnya, sehingga orangtua dapat menyikapinya dengan benar.
Untuk meminimalisir protes anak terutama untuk hal yang berkaitan dengan rutinitas, orangtua dapat menerapkan disiplin yang konsisten, menyenangkan dan terbuka. Keterbukaan orangtua dengan anak, termasuk melatih anak untuk memprotes dengan cara yang benar justru sangat baik. Mengingat anak ketika menginjak remaja cenderung lebih dekat dengan teman-temannya.
Artikel keren lainnya: