Tifani Anglila

  • Home
  • Menu
  • Menu 1
  • Menu 2
  • Menu 3
Beranda » Entertainment » FIlm 'Di Bawah Lindungan Ka'bah', Gaya Baru Daur Ulang

FIlm 'Di Bawah Lindungan Ka'bah', Gaya Baru Daur Ulang



Setelah sukses dengan Ayat Ayat Cinta, MD Entertainment kembali memproduksi film bernuansa Islam yang diadaptasi dari novel Di Bawah Lindungan Ka'bah, sebuah karya sastra Hamka dengan judul yang sama. Film yang menelan biaya 25 miliar rupiah dan boleh dibilang cukup kolosal untuk ukuran sinema Indonesia di era 2000-an, mengingat jumlah pemeran pendukung yang banyak, kali ini mempercayakan Hanny R Saputra untuk menjadi sutradaranya. Ia dikenal dengan film-film drama romantisnya yang menguras air mata. Hanny pernah sukses dengan debut filmnya yaitu Virgin yang sempat menimbulkan kontroversi di tahun 2004 lalu.


Sebenarnya adaptasi dari novel yang sama pernah diproduksi tahun 1981 dengan judul Para Perintis Kemerdekaan (diganti dari judul asli novelnya karena dilarang pemerintah Orde Baru), dengan sutradara Asrul Sani, diperankan oleh Cok Simbara dan Mutiara Sani serta sukses dalam penayangannya di seluruh bioskop di Indonesia.


MD Entertainment mempercayakan penulisan skripnya kepada dua orang sekaligus, yakni Titien Wattimena dan Armantono. Keseriusan penggarapan film ini juga diperlihatkan dengan penggunaan teknologi animasi CGI atau computer generated image untuk keperluan penyempurnaan gambar oleh seorang animator andal, Dana Riza, serta tata busana yang dirancang langsung oleh perancang mode terkemuka Indonesia, Samuel Wattimena yang memang tak asing lagi menjadi costume designer untuk beberapa film nasional.


Adapun bintang-bintang yang meramaikan film ini diantaranya Herjunot Ali sebagai Hamid, Laudya Cynthia Bella sebagai Zainab, Niken Anjani sebagai Rosna, Tara Budiman sebagai Saleh, Hj. Jenny Rachman sebagai Mak Hamid, Widyawati sebagai Mak Asiah, istri Engku Haji Ja'far, Didi Petet sebagai Engku Haji Ja'far, Leroy Osmani sebagai Rustam dan Ajun Perwira sebagai Arifin.


Garis besar ceritanya menceritakan Hamid dan Zainab berasal dari dua keluarga dengan tingkat sosial yang berbeda. Hamid yang berasal dari keluarga miskin, dan Zainab yang berasal dari keluarga kaya. Hamid mendapat dukungan dana sekolah dari ayah Zainab, ibu Hamid pun bekerja di rumah keluarga Zainab. Pertemuan demi pertemuan membuat keduanya, Hamid dan Zainab, kemudian saling jatuh cinta.


Sementara itu, Hamid merasa tidak ada yang salah dengan perasaannya. Karena itu, dia tetap berusaha dekat dengan Zainab. Namun, Hamid harus membayar mahal langkahnya. Dia difitnah kerabat Engku Haji Ja'far yang ingin menjodohkan kemenakannya dengan Zainab.


Mereka berbagi impian yang sama, yaitu tiap manusia bebas untuk mencintai dan dicintai, dan impian untuk menunaikan ibadah haji di Mekkah. Hamid melakukan segalanya demi Zainab, demi mewujudkan cinta mereka, demi mewujudkan impian itu. Melewati berbagai halangan yang ingin memisahkan mereka, mencoba membuka satu persatu belenggu yang mengatasnamakan adat masa itu.


Bahkan ketika keinginannya untuk meminang Zainab pupus sudah, keinginannya untuk mewujudkan impiannya dan Zainab pergi ke Ka'bah tetap ia perjuangkan. Hamid berjuang pergi ke Mekkah demi Zainab. Zainab berjuang mempertahankan cintanya disini demi Hamid. Sebuah cerita yang berlatar belakang Sumatera Barat tahun 1920-an tentang cinta abadi, ketika segala sesuatu kelihatannya tak mungkin, cinta dengan caranya sendiri, menjadikannya mungkin.


Yang menarik dari film ini adalah adegan saat Mak Hamid beberapa kali menegaskan, perasaan Hamid pada Zainab hanya mengotori kepercayaan Haji Ja'far dan menentang adat yang tidak menghendaki perkawinan laki-laki dan perempuan tak sederajat. "Emas tak akan setara dengan loyang, benang tak akan sebangsa dengan sutra," katanya bertamsil. Dialog yang membersitkan makna saat sebelum Hamid pergi meninggalkan kampungnya, ia bertemu Zainab dan berkata, "Untuk melewati badai, kita harus terus berjalan. Hanya ada dua hal yang harus terus kita bawa, keyakinan dan cinta."


Cerita film kali ini memang tidak seluruhnya sama dengan kisah novel Di Bawah Lindungan Ka'bah. Insiden tentang pengusiran Hamid dari kampungnya, misalnya, hanya ada di film, tidak ada di novel sama sekali. Besar kemungkinan memang sengaja ditambahkan untuk memunculkan konflik yang kuat. Memang cerita film ini terasa dinamikanya berkat konflik-konflik selanjutnya. Karakter Arifin, laki-laki yang dijodohkan dengan Zainab, dalam film digambarkan sebagai pribadi yang licik, sementara dalam novel dia digambarkan sebagai anak muda terdidik yang santun dan sangat taat pada orangtua. Sungguh disayangkan, dialog yang dipakai adalah gaya bahasa yang mudah dipahami untuk zaman sekarang dan bukan dialog-dialog dalam novel yang banyak menggunakan kiasan dan pantun.


Namun ada pula adegan menarik lainnya seperti bertukar surat melalui tempurung kelapa yang dihanyutkan ke sungai dan dialog romantis terpisah batas spasial berupa tembok kayu antar Hamid dan Zainab. Hanya saja emosi dan gairah kedua insan yang jatuh cinta ini, we simply don't get it!


Film ini dimaksimalkan penggarapannya untuk membawa penonton ke dalam suasana Sumatera Barat era 1920-an. Alam Ranah Minang yang indah, memang sedap di mata dengan angles yang cukup menarik juga adegan-adegan romantis dan dramatis. Menghadirkan kereta uap, stasiun tua, pedati tua, pasar dan perkampungan Minang, bahkan hingga membangun sebuah surau lengkap dengan kincir airnya jelas memperkuat aspek sinematografi yang diarahkan oleh Rachmat Syaiful. Sementara suasana ibadah haji, pemandangan perkemahan jemaah haji, adanya iring-iringan jemaah berihram, hingga adanya Ka'bah tiruan makin menambah kemantapan setting serta visual secara utuh karena efek CGI dan cukup berhasil menghadirkan suasana Mekkah tahun 1920-an.


Yang mengejutkan adalah munculnya pesan sponsor. Ada sekotak coklat batang bermerek keluaran masa kini. Lalu muncul lagi sebuah merek kacang kulit yang bersimbol burung yang sering menemani orang menonton pertandingan sepak bola. Ditambah lagi sebuah merek anti nyamuk bakar yang entah apa hubungannya di masa itu. Memang semua dikemas dalam kemasan vintage, tapi jelas sangat mengganggu atmosfer tahun 1920-an yang sudah dibangun dengan kerja keras lewat setting yang memikat.


Hanny sebagai sutradara tampak terperangkap dalam gaya penyutradaraan film dengan gaya bercerita yang lambat. Adanya elemen kincir air dan sungai yang pernah ditemukan di film garapannya sebelum ini, bukan sebuah kebetulan serta sah-sah saja karena masih mendukung ceritanya sehingga terkesan inilah trade mark seorang Hanny.


Akting Herjunot Ali dan Laudya Cynthia Bella bisa dikatakan datar saja dalam memerankan karakternya masing-masing. Herjunot kurang memperlihatkan pribadi yang pandai sebagai lulusan Thawalib di mana ia sempat bertemu dengan K.H. Ahmad Dahlan dan Haji Agus Salim. Juga disayangkan adegan saat mereka berdua tertawa cekikikan di tepi pantai dan bermain hujan di pasar, cenderung berlebihan dari sisi durasinya. Para senior seperti Jenny Rachman, Widyawati dan Didi Petet memperlihatkan kualitas akting mereka dan merupakan trio yang tepat memerankan tokoh-tokoh tersebut. Sementara itu, perancang mode Samuel Wattimena pantas diberikan apresiasi karena mampu membuat kostum tradisional maupun bergaya Islam yang ada di tahun 1920-an.


Score atau ilustrasi musik garapan Tya Subyakto secara keseluruhan kurang memberikan soul bagi film ini, karena musiknya terlalu sederhana dengan menggunakan komputer atau keyboard yang diprogram. Adegan-adegan yang sedih menjadi kurang gregetnya karena score yang seadanya. Score sepanjang film kurang menguatkan atmosfer cerita di tahun 1920-an, ditambah lagu yang dibawakan Opick yang kurang mengena pada satu adegan serta lagu Melly Goeslaw yang tak sedahsyat biasanya, bahkan disajikan saat credit title ditayangkan memberikan kesan hanya tempelan saja. Yang patut dihargai hanyalah musik tradisional berupa saluang dan talempong yang menghiasi beberapa adegan. Tya yang punya kemampuan memimpin orkestra tampaknya harus menurut pada produser, setali tiga uang para produser di negeri ini yang mengalokasikan dana seadanya untuk ilustrasi musik.


Pada akhirnya film ini memang masih banyak kekurangannya, tapi bagaimanapun keseriusan membangun setting dan efek CGI-nya memang layak diapresiasi. Tak ada salahnya menyaksikan film daur ulang ini, karena memang dibuat hanya untuk menghibur.

Tweet

Jangan sampai ketinggalan postingan-postingan terbaik dari Tifani Anglila. Berlangganan melalui email sekarang juga:

Atau sobat juga bisa follow Tifani Anglila dengan mengklik tombol di bawah ini:

follow mas sugeng

Artikel keren lainnya:

Blogger Templates
Ditulis oleh Unknown pada tanggal Tuesday, August 23, 2011
Newer Post
Older Post
Home

Popular Posts

  • Hijabers Community Style (Bergaya Ala Hijaber)
  • Hijab Style Inspiration , Dian Pelangi HC
  • Hijab Style Inspiration , Dian Pelangi
  • Tutorial Memakai Jilbab Paris Dian Pelangi
  • Hijab Style Inspiration, Siti Juwariyah
  • Cara Memakai Jilbab Modern Beserta Video Tutorialnya
  • Hijab Style Inspiration Dian Rainbow ! New
  • Fashion Styles Hijabers Surabaya +17
  • Muslimah Cartoon Image
  • Tutorial Pashmina Cotton Cloth Long Shawl
Education Entertainment Entrepreneur Family Fashion Female Financial Good Looking Hijab Style Inspiration Hikmah Islam Home Properti Islamic News Jelajah Buku Kabar Terbaru Kesehatan Kitchen Live Style Masakan Masakan Eropa Masakan Indonesia Motivasi Music Muslimah Muslimah Articles Other Parenting People Inspiring Properti Relationship Renungan Resep Masakan Resep Minuman Spot Techno Tips Travelista Tutorial
Copyright © 2014 Tifani Anglila - Powered by Blogger
Template by Mas Sugeng - Versi Seluler